INFRONT OF YOU
CHAPTER 1 : SESUATU MENGAWALI KAMI
"Yaakk, Jo Seong Shi! Sekali lagi aku akan membawakan ember padamu!"
Aku menggaruk pahaku. Jam berapa ini? Astaga, Si Bawel itu sudah berteriak sepagi ini? Aku baru saja memejamkan mata tapi dia seperti radio rusak di depan telingaku. Dia meneriakiku selama satu jam. Mengulang-ulang terus kata-kata yang sama.
"Yaaaaaaakk!!! Jo Seong Shi!!! Apa kau benar-benar tidak bekerja hari ini?!"
Sekarang suara itu tepat di depan gendang telingaku. Menyebalkan sekali.
Aku mendengar suara pintu di hempaskan dan sebuah kaca yang pecah. Aku segera bangun dan melihat Song Bi baru saja menutup pintu kamarku begitu keras hingga sebuah pigura terlepas dari pakunya.
Ahh, dia benar-benar membuatku gila. Tapi jam berapa ini? Aku melirik jam Doraemonku menunjukkan enam tiga puluh. Masih ada lima belas menit waktu untuk bisa tidur. Aku akan memasang alarm di ponselku.
"Jo Seong Shiiii!!!"
"Iya! Iya! Aku sudah bangun!" Dan aku segera beranjak dari tempat tidurku dan meraih sebuah handuk.
Oke, oke. Satu kakak perempuan yang gemar berteriak-teriak di pagi hari sudah membuatku hampir gila. Aku menyalakan komputer di kamarku dan melihat lembar kerja presentasiku yang masih kosong. Ini cukup sulit sekaligus membingungkan. Sudah empat tahun aku menjadi pria yang penuh ide brilian untuk membuat suatu plot cerita drama di televisi atau media cetak. Dan sekarang aku hanya bisa memandangi masa emasku dulu. Aku sudah renta, kehabisan ide bagus untuk di ajukan pada produser film atau perusahaan penerbitan. Jo Seong Shi yang payah. Aku tidak mungkin bisa melewati hari ini dengan baik.
Aku menatap omurice ala Song Bi dan memakannya dengan wajah 'Hey, apalagi ini?'.
"Ada apa? Kau tidak suka itu?" Song Bi mulai menyalak seraya membersihkan dapur. "Kalau tidak suka, masak sendiri."
"Tidak. Aku hanya-"
Seakan bisa membaca pikiran, sekarang dia berada di depanku dengan wajah bak singa betina.
Aku menghela nafas. Bagaimana mungkin dia begitu pemarah? "Aku hanya bilang bahwa, euh, ini ke, kekanak-kanakkan. Sedikit kekanak-kanakkan. Kau tahu, kan aku sudah besar seka-"
Song Bi menatap omurice ala bekal anak TK. Sepasang mata dari tomat cerry, hidung sosis, mulut saus asam dan rambut selada. Begitu imut tapi dia langsung menyingkirkan itu semua. Menyisahkan omurice tanpa wajah bahagia di atasnya.
"Kau puas?"
Aku menudukkan kepala dan mengangguk kecil.
"Dengar ini. Pergilah kencan dengan seorang wanita! Lalu menikahlah setelah itu! Bagaimana mungkin kau terus menumpang di apartemenku?"
Dia selalu seperti itu. Bersikap seakan-akan aku tidak laku. Tidak ada gadis yang mau denganku. Apakah aku harus memberitahu dia bahwa aku seorang bintang di depan para gadis?
"Wuahh, oppa! Kau sangat hebat! Jjang!" Sun Yi mengacungkan dua jempol padaku.
Aku mengedipkan mata padanya. "Tidak hanya itu, aku sedang berinvestasi di bidang properti. Wanita yang akan menikahiku, eh maksudku kau, pasti akan nyaman bersamaku. Lalu setelah itu kita akan ke pulau dan menikmati helikopter yang baru ku beli!" Aku merangkul Sun Yi dan gadis itu cekikikan.
"Oh, oppa, kau sangat berkelas. Kau juga populer sekali! Teman-temanku sering membicarakanmu dan mereka selalu mengaku telah kau kencani. Apa itu benar?"
"Tentu saja mereka hanya berbohong. Semua wanita pasti suka berkhayal mengenai pria idamannya bukan?" Sun Yi memelukku semakin erat. "Tenang saja, Sun Yi. Oppamu ini hanya untukmu!"
"Benarkah itu semua penggemarmu, oppa?!" Wajah Eun Hee berbinar-binar di depanku.
Aku tersenyum angkuh. "Tentu saja. Semua wanita tergila-gila padaku di sekolah. Bahkan dulu seorang guru bahasa Inggris menyatakan cintanya padaku." Aku menyeruput milkshake ku sambil menikmati kekaguman Eun Hee padaku.
"Lalu apakah kau menerimanya?"
"Yang benar saja! Tentu aku menolaknya dan nilai bahasa Inggrisku turun! Aku tidak bisa menerimanya walaupun dia sangat cantik. Karena bagiku, " aku menyolek dagu Eun Hee, "kaulah wanita paling cantik yang pernah kutemui." Aku mengedipkan mataku dan Eun Hee tersipu malu.
"Lalu kapan kau akan membelikanku mobil?" Dam Bi merenggut lagi. Wajahnya sangat dibuat imut.
"Secepatnya. Aku akan segera mengurus itu." Kataku sambil menyalakan mesin mobil lalu melaju di bawah hujan rintik.
"Kau selalu bilang seperti itu. Tapi kau tidak pernah membuktikannya." Aku menoleh pada Dam Bi yang mulai seperti anak kecil. "Dan minggu lalu kau belum menepati janjimu untuk membelikanku kalung berlian yang aku mau. Belum lagi pakaian-pakaian seperti Kim Tae Hee dan aku perlu SK II karena kulitku harus seperti Han Ga In. Lalu bagaimana dengan sepatu yang kau-"
Aku menepikan mobilku dan langsung menciumnya.
"Eoh?" Dam Bi menatapku bingung.
"Percayalah padaku. Aku akan memberikan apapun yang kau mau." Kataku lembut.
"Termasuk jika aku ingin kau menikahiku?"
"Tentu saja. Aku sudah memikirkan rancangan gaun pengantinmu, tempat yang kita pakai dan kendaraan untuk kesana." Dam Bi tersenyum manis. "Kau mau naik apa? Kereta kuda seperti Pangeran William dan Kate? Sebuah mobil sport? Atau limousin?"
"Naik bus saja!"
Aku terbatuk- batuk. Lalu melihat Song Bi yang sudah rapi dengan kemeja kerjanya dan... kunci mobilku?
"Kau naik bus saja. Aku akan pulang malam untuk ke sebuah perjamuan yang diadakan bosku. Jadi aku pinjam mobilmu hari ini. Jalan kaki pagi-pagi begini baik untuk kesehatanmu." Lalu ia melenggang sembari membawa tasnya. "Aku pergi dulu. Jangan lupa kunci pintu!"
Aku tidak bisa menelan omuriceku. Lagi-lagi jalan kaki. Pantas saja dia membangunkanku lebih awal! Awas kau Song Bi!!!
--
"Hahahaha...." So Hee tidak henti-henti untuk tertawa. Lebih tepatnya tidak berhenti untuk menertawakanku.
"Sungguh! Dia bersikap seperti itu karena aku menumpang di rumahnya! Dia selalu berteriak di depanku dan menyuruhku melakukan semua keinginannya!" Aku menendang pelan tiang lampu merah dan orang-orang mulai memperhatikanku.
"Ahaha, aku pikir kau akan semakin kurus tinggal di sana."
"Percayalah aku semakin kehilangan pesonaku. Mungkin benar kata orang jika kakak palsu akan berakhir bencana."
"Eihss, jangan bicara seperti itu! Song Bi baik menurutku. Memiliki kakak tiri yang peduli terhadap adiknya itu baik, bukan?"
Aku menoleh pada So Hee ketika lampu berubah hijau. Ia melangkah bersama puluhan pejalan kaki pagi itu. Untuk sesaat, aku melihatnya begitu kasihan. Ia baru saja mengatakan hal yang benar padaku dan itu seperti melihat pelangi di siang hari. So Hee memiliki banyak pengalaman pahit dalam keluarganya. Dan sampai sekarang, aku belum pernah mendengar langsung darinya. Semua itu ku ketahui dari rekan kerja lain. Itu sedikit membuatku penasaran. Padahal kami sudah berteman lama dan dia tidak pernah bersikap terbuka padaku.
"Hey, aku akan naik bus duluan, ya!" So Hee meneriakiku di tengah zebra cross dan meninggalkanku pergi.
"Hey, Han So Hee-a! Tunggu aku!"
Ponselku berbunyi ketika aku sudah berada di bus. Pesan dari Hye Shin. Hye Shin memang cantik namun ponselku menjadi berisik ketika sekali saja aku tak membalas pesannya.
"Oppa, kau ada waktu malam ini? Aku akan-" kata So Hee di dekatku.
"Aishh!" Aku menjauhkan ponselku dari So Hee.
"Pesan dari para penggemar anehmu." Gerutu So Hee. Ia duduk di dekat jendela lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan.
"Mereka tidak aneh. Mereka, gila. Mereka begitu tergila-gila pada Si Tampan Jo Seong Shi!" Kataku sungguh percaya diri. So Hee hanya mendengus.
"Sebaiknya kau pikirkan bagaimana kau akan memulai hubungan serius. Semua wanita bukan mainan. Suatu saat mereka akan kembali menagih janji-janjimu. Apa kau pikir mereka itu bodoh?"
Aku menyenggol siku So Hee. "Yakhh, kau ini kenapa, sih? Jangan memperburuk suasana. Jadilah gadis baik seperti biasanya." Aku mengusap-usap rambutnya dan ia malah memukul kepalaku.
"Jangan lakukan itu! Rambutku berantakan."
"Hey, So Hee-a, kau pasti sangat senang, bukan? Pagi yang indah ini bisa berangkat kerja bersamaku."
So Hee memukulku lagi. "Bodoh. Jangan bercanda!" Ia tersenyum meledekku. "Nikmatilah perjalanan tanpa mobil mewahmu ini."
"Aku tidak keberatan naik bus asalkan bersamamu."
Ia mendengus. "Pemuja-pemujamu pasti akan berfikir dua kali mengencanimu jika melihatmu naik bus begini."
Aku terkekeh. "Ha! Lihat saja nanti! Seorang pangeran akan tetap seorang pangeran meskipun dia naik bus!"
Di halte berikutnya kami segera turun. Jarak gedung kantor tidak begitu jauh. Bahkan dari halte bus pun semua karyawan sudah terlihat berlalu lalang di jalanan. Beberapa diantara mereka adalah pasukan gadis-gadis muda yang mengagumiku. Mata mereka membulat ketika aku turun dari bus dan melangkah layaknya aktor di red carpet. Aku mengusap rambutku perlahan dan merasakan poniku jatuh dengan indah di dahiku. Lalu aku memasukkan tanganku ke dalam saku celana dan berjalan angkuh.
"O-oopaa," beberapa suara kekaguman ku dengar dari mereka.
Aku mendahului gadis-gadis itu dan meninggalkan satu kedipan maut. Di belakangku, So Hee tampak begitu jijik. Tapi aku tersenyum saja dan melangkah sendiri. Aku tahu mereka langsung mengikutiku sampai ke elevator.
Di dalam elevator yang sesak gadis-gadis itu melemparkan banyak pertanyaan pribadi padaku. Beberapa dari mereka bahkan memberikanku biskuit dan cokelat atau segelas kopi hangat bertuliskan namaku. Aku tidak tahu seperti apa ekspresi orang-orang di belakangku. Aku hanya menikmati kepopuleranku yang tersohor di kantor ini.
"Eumm... baiklah, kau cukup dapat baanyaak sekali bingkisan kecil pagi ini." So Hee melirik meja kerjaku saat kami sampai di ruangan.
"Oh, Jo Seong Shi!" Yeon Tae Hyun menghampiriku dan menepuk-nepuk pundakku. "Wahh, lihat ini semua!"
Aku tersenyum. "Bukankah ini bagus?"
"Apa ada banyak cokelat lagi?" Moon Ji Soon ikut menghampiri kami. Wajahnya sumringah melihat banyak cokelat berbungkus cantik yang tertumpuk di mejaku.
"Wah, semua gadis telah memuji-mujimu layaknya dewa. Beritahu aku rahasianya, kawan!"
So Hee menepuk dahi Tae Hyun. "Heish, oppa, kau malah ikut-ikutan sekarang!"
"Kenapa? Semua pria ingin seperti Seong Shi! Bahkan jika aku adalah wanita, aku akan mencintainya!" Tae Hyun berpura-pura mencium keningku.
"Sisakan satu cokelat untukku!" Gumam Ji Soon.
"Jadi bagaimana? Kau mau membujuk satu gadis untukku?" Tae Hyun berkata pelan dan merangkulku.
"Tentu saja. Belilah setelan bagus untuk berkencan! Aku akan mengenalimu seorang, eh tidak, banyak gadis dari divisi lain."
"Woah! Kau baik sekali, sobat!" Tae Hyun memelukku dan ia tampak sumringah sekali. "Makan siang kali ini aku yang traktir, oke?!"
"Oye! Aku akan makan banyak kali ini!" Seru So Hee.
"Traktir aku cokelat panas juga" kata Ji Soon.
"Hei, jagalah tubuhmu agar tetap kurus! Lihat pipimu itu, gendut seperti Ji Soon."
Ji Soon mengabaikanku dan membuka sebungkus cokelat lalu memakannya.
"Hes hes heiss, hentikan. Aku tahu apa yang aku lakukan. Bukankah bagus jika seseorang membayarkan makan siang di hari membayar sewa apartemen?"
"Hah, kau masih saja tinggal di apartemen itu?" Tanya Tae Hyun. "Carilah apartemen baru! Masuk ke sana seperti neraka untukku!"
Soo Hee hanya cemberut.
Apartemen apa? Kenapa dengan apartemennya? Kenapa semua orang sepertinya tahu mengenai So Hee namun aku sendiri seperti tidak mengenalnya?
"Yah, Seong Shi. Bagaimana presentasimu? Bos menegurku tadi dan dia menanyai program barumu." Tiba-tiba Tae Hyun berganti topik. Seketika aku teringat presentasiku.
"Sedang ku kerjakan." Kataku simpel dan aku kembali ke meja kerjaku.
"Baiklah, panggil aku jika kau butuh bantuan." Kata Tae Hyun sebelum kembali ke meja kerjanya.
"Berjuanglah, Seong Shi!" Di seberangku, So Hee mengepalkan tangan dan menyemangatiku.
Aku tersenyum dan kembali pada monitor dengan kebahagiaan yang turun drastis.
--
Aku lega sekali ketika Ji Soon menepuk pundakku dan mengatakan sudah waktunya makan siang. Dengan hati yang bahagia, aku menundukkan sedikit laptop kerjaku dan melupakan tentang presentasi itu.
"Ayo kita makan banyak!" So Hee mengulat dari tempat duduknya lalu ia merangkul Tae Hyun dan mengajak kami keluar bersama.
Aku, Han So Hee, Yeon Tae Hyun dan Moon Ji Soon layaknya geng di kantor. Sejak awal bertemu kami selalu bersama, bahkan kami sering sekali menghabiskan waktu di akhir pekan. Kami tidak keberatan jika So Hee adalah satu-satunya anggota wanita di sini. So Hee sedikit tomboy, berbeda dengan Tae Hyun, si tampan yang jangkung dan seumuran denganku. Tae Hyun selalu baik pada semua orang dan tipikal pria ramah yang sebenarnya terlalu pemalu mengutarakan isi hatinya. Pribadi Tae Hyun yang asik mungkin berkebalikan dengan Ji Soon. Sebenarnya dengan sedikit perbaikan penampilan, Ji Soon tidak begitu buruk. Hanya saja ia pendek dan tembem. Itu beberapa alasan ia sukar dekat dengan wanita selain kepribadiannya yang terlalu membosankan. Namun selama kami semua berkumpul, aku tidak keberatan dengan kejelekan masing-masing. Merekalah yang masih bertahan menganggapku teman sejati.
"Yak, aku mendapatkan door price tiket konser Sung Shi Kyung. Bagaimana jika kita menonton bersama?" So Hee berkata dengan mulut penuh selada. Ia terlihat antusias.
"Kapan konsernya?" Tanya Ji Soon.
"Minggu depan."
Akh, itu bukan waktu yang bagus. Aku melihat sekeliling, baik Tae Hyun dan Ji Soon tidak begitu tertarik.
"Ayolah, ini Sung Shi Kyung!" Bujuk So Hee.
"Aku.. ya, kau tahu, tidak bisa keluar di akhir pekan ini, ada beberapa pekerjaan yang, euh.." sebenarnya aku ingin ikut. Siapa yang ingin melewatkan Sung Shi Kyung? Tapi presentasi itu...
"Aku juga, aku ada sedikit janji. Aku bisa saja ikut namun aku takut terlambat datang." Ujar Tae Hyun.
Ji Soon tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandangi iga sapinya sambil memikirkan alasan yang tepat.
"Sepertinya bukan waktu yang tepat, ya?" Nada bicara So Hee melemah. Di putar-putarnya sedotan limun dan enggan menatap kami semua.
"Hei, So Hee-a, kau punya berapa tiket?"
"Tiga."
"Jika kau mengajak kami salah satu dari kami harus membeli tiket." Kataku.
"Ah, tidak apa-apa jika itu memberatkan kalian. Aku pergi sendiri saja."
Tae Hyun menyenggol So Hee. "Hey ayolah! Aku bisa memborong sepuluh tiket sekaligus. Katakan jam berapa aku harus datang?"
So Hee senang sekali. "Uhmm, pukul lima sore. Nanti akan ku kabari lagi."
Oke, Tae Hyun baik sekali. Aku tahu dia tidak bisa hadir dalam acara itu karena suatu alasan namun ia hanya ingin So Hee tersenyum. Aku tidak peduli dengan Ji Soon yang tidak ikut-ikutan dalam acara menghibur So Hee. Namun timbul sedikit keresahan dalam diriku ketika So Hee pergi ke kamar kecil dan Tae Hyun terlihat tidak seperti biasanya.
"Tidak seperti biasanya bagaimana maksudmu?" Tanya Tae Hyun ketika aku bertanya mengenai raut wajah asing yang tiba-tiba muncul.
"Entahlah. Seperti ada yang terjadi antara kalian berdua. Kau dan So Hee."
"Ah," ia tersenyum simpel. "tidak ada yang terjadi. Aku hanya khawatir dia menjadi sedikit kesepian."
Aku memicingkan mata, "Nah, itulah yang aku maksud tidak seperti biasanya. Kau bertidak berlebihan pada So Hee akhir-akhir ini."
"Hah!" Tae Hyun menganggap ucapanku lucu. "Apa maksudmu, sih?"
"Bahkan kau tahu mengenai apartemennya yang kau sebut seperti neraka." Tambahku.
"Astaga, Seong Shi-a! Semua orang tahu masalah itu! Sekarang aku yang bingung padamu." Ia melipat tangannya dan mundur sedikit dari meja makan.
"Apartemen So Hee yang penuh dengan lebah?" Celetuk Ji Soon. "Maksudnya banyak penggerutu atau lebih tepatnya pengganggu."
"Lihat? Ji Soon juga tahu masalah itu. Sepertinya hanya kau satu-satunya yang jarang berkomunikasi dengan So Hee!"
Aku baru saja ingin menjawab keadaan sebenarnya, namun So Hee sudah kembali dari kamar kecil.
Aku memperhatikan So Hee, entahlah, aku jadi sedikit bingung. Apa banyak sekali yang aku lewati karena kesibukanku?
"Hei, So Hee-a!" Panggilku. "Boleh aku meminta satu tiket yang tersisa itu?"
---
"Halo, Seong Shi oppa!"
Aku, Tae Hyun, So Hee dan Ji Soon tengah asyik berbincang mengenai pekerjaan dalam perjalanan kembali ke ruangan kantor. Seorang gadis berambut cokelat, tubuh seseksi Miss Korea dan suara imutnya hadir di depan mataku. Dengan sebuah senyuman, seperti sebuah pertanda dimulainya urusanku dengan para penggemarku ini. Maka ketiga temanku segera jalan di depanku. So Hee menunjukkan ekspresi mencibir dan Tae Hyun mengacungkan jempol.
"Oh, Hye Shin-ssi. Ada apa?"
Hye Shin merenggut dalam keimutannya. "Tidak usah formal begitu. Kita sudah kenal lama, bukan?"
Aku tersenyum. Senyum yang mematikan. "Baiklah, Hye Shin-a, ada apa?"
Hye Shin tersipu. Dan, merenggut lagi. "Oppa, kenapa kau tidak membalas pesanku?"
"Ah, benarkah?" Aku mengambil ponselku di saku dan pura-pura mengeceknya. "Ah, benar. Hye Shin-a, maafkan aku. Aku sangat sibuk hingga tidak mengecek ponselku sama sekali.
"Aku mengerti itu. Persis seperti dugaanku." Ia mengangguk-angguk kecil. "Oppa, jadi apakah kau mau makan malam denganku?"
"Ah tentu saja." Oke, itu hanya basa-basi saja. Aku tidak ingin Hye Shin terus bertanya hal yang sama.
"Benarkah? Baiklah. Bagaimana jika restoran di Gangnam? Kita bisa menghabiskan makan malam lalu pergi ke karoke!"
"Beritahu aku saja kapan aku harus menjemputmu."
"Euhm..... aku akan memberitahumu lewat pesan!" Ia tersenyum lebar. "Aku punya sebuah kejutan untukmu!"
"Ah, oke oke." Astaga. Kejutan apa? Aku sudah terbiasa dengan kejutan. Bisakah ia segera menyingkir dariku? "Baiklah Hye Shin-a, aku harus segera kembali ke ruanganku."
"Oke, oppa!"
Aku meninggalkan Hye Shin dan sedikit merasa bersalah. Masalahnya, aku tidak tahu apakah aku bisa pergi bersamanya atau tidak.
Aku kembali ke ruangan, dengan atmosfer yang berubah seratus delapan puluh derajat. Otakku segera tertuju pada lembar kerja di komputer yang masih putih polos. Aku sudah kehabisan ide untuk membuat program televisi yang baru. Sejak bos menyalakku karena beberapa kesalahanku dulu, ia seakan menghukumku dengan beberapa pekerjaan yang sebenarnya bukan tanggung jawabku. Aku hanya bekerja untuk tim kreatif drama televisi. Jiwaku sama sekali tidak berada dalam realiti show penuh candaan.
Mataku berputar, adakah ide belum ku temui disini? Semua orang terlihat monoton. Baik rekan kerja lain dan teman-teman dekatku yang sama-sama memelototi layar komputer dan berkutat dengan pikirannya sendiri. Aku menyandarkan bahuku di kursi dan menundukkan kepala.
Lalu mataku menangkap benda asing yang mencuat dari dalam laciku yang terbuka.
Aku mengambil cokelat berbungkus indah tanpa nama pengirim itu. Ini adalah yang ke delapan belas. Selalu hadir di hari yang sama setiap minggu dengan bungkus yang sama, rasa yang sama dan di tempat yang sama. Aku tidak mau repot-repot memeriksa kamera pengintai hanya untuk mengetahui siapa pemuja rahasia di balik cokelat-cokelat ini. Seperti penggemarku yang lainnya. Mereka yang kurang memiliki keberanian mengutarakan perasaannya padaku atau sekedar mengajak makan malam melampiaskannya menjadi seorang pemuja rahasia. Cokelat itu bisa saja dari Min Young, Dam Bi, Hye Shin atau wanita lain yang menjadi pemujaku. Aku tersenyum mengingat betapa populernya aku di kalangan para wanita. Bahkan sampai mereka tidak sadar jika aku tidak mengacuhkan mereka.
Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan pada Ji Soon.
Yak, Ji Soon-a, saatnya mengambil cemilan siangmu.